MUSIK CAMPURSARI
1.
RIWAYAT MUSIK CAMPURSARI TRADISI
DAN INOVASI
1.1
Munculnya Campursari
Istilah
campursari di dunia musik nasional mengacu pada campuran beberapa genre musik
kontemporer Indonesia. Istilah campursari dikenal pada awal tahun 1970-an
ketika RRI Stasiun Surabaya memperkenalkan acara baru, yaitu lagu-lagu yang
diiringi musik paduan alat musik berskala nada pentatonis dan diatonis.
Campursari adalah salah satu bentuk kesenian di Jawa yang merupakan perkawinan
antara musik modern dengan musik etnik. Campursari itu sendiri sebenarnya
berangkat dari seni tradisi Jawa, dimana dipadukannya seni gending dengan
berbagai alat musik, baik alat musik tradisional maupun modern, konvensional
dan elektrik.
Tapi
sesungguhnya, paduan antara musik tradisional Indonesia dengan musik Barat
bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum campursari ada banyak musisi kelas
dunia yang sudah melakukannya, antara lain Claude Achille Debussy dari
Perancis, Bella Bartok komponis Hungaria, Lalu Collin Mc Phee komponis Amerika,
Wheeler Backet. Dari Indonesia ada F.A Warsono, Guruh Soekarno Putra bersama
grup Guruh Gipsy memperkenalkan paduan musik Bali dan musik Barat.
Campursari
berasal dari dua kata yaitu campur dan sari. Campur berarti berbaurnya
instrumen musik baik yang tradisional maupun modern. Sari berarti eksperimen
yang menghasilkan jenis irama lain dari yang lain. Para seniman memadukan dua
unsur musik yang berbeda yaitu instrumen musik etnik yaitu gamelan dan instrumen
musik modern seperti gitar elektrik, bass, drum serta keyboard, sehingga dapat
dikatakan bahwa campursari adalah musik hybrida hasil perkawinan silang antara
musik barat dan tradisional. Kesenian ini memerlukan beberapa pemain musik, tak
kurang dari hampir sepuluh orang untuk menghasilkan irama yang sangat merdu.
Munculnya
musik campursari pada awalnya berangkat dari musik keroncong asli langgam,
campursari tetap menggunakan dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung ke musik
karawitan, ada yang cenderung ke keroncong. Campursari diolah sedemikian rupa
sehingga menghasilkan jenis musik Jawa modern, lirik-lirik lagunya masih
mengadopsi lirik gending Jawa tradisional walaupun tidak semua, karena sebagian
besar dari senimannya berusaha menciptakan lagu campursari itu menyesuaikan
dengan keadaan zaman yang sedang berlangsung.
Campursari
awalnya dipopulerkan oleh Ki Nartosabdho melalui setiap pertunjukkan wayang
kulit yang dimainkannya. Ki Nartosabdho nama aslinya adalah Sunarto. Ia lahir
di Wedi, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 25 Agustus 1925 dari keluarga kurang
mampu. Ayahnya Partinojo seorang pembuat sarung keris. Sunarto kecil tidak
dapat melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. Beranjak remaja, Sunarto
hijrah ke Jakarta untuk menopang ekonomi keluarganya dengan mencari uang
melalui kemampuannya dalam bidang seni lukis. Ia juga turut memperkuat orkes
keroncong “Sinar Purnama” sebagai pemain biola.
Pada
tahun 1945, Sunarto berkenalan dengan Ki Sastrosabdho. Sunarto benar-benar
ditempa kemampuannya dalam mengenali dan mendalami instrumen gendang. Lewat Ki
Sastrosabdho pula, Sunarto mengenal dunia pewayangan. Antara Ki Sastrosabdho
dan Sunarto adalah ibarat satu kesatuan sebagai bapak dan anak, oleh karena itu
kemudian Ki Sastrosabdho menganugerahi nama belakangnya kepada murid
kesayangannya ini menjadi Nartosabdho. Ki Nartosabdho merupakan pembaharu dunia
pedalangan tahun 80-an, menggabungkan musik modern dengan musik gamelan
sehingga menghasilkan harmoni dengan nuansa tradisi Jawa, namun hal tersebut memunculkan
kontroversi.
Sementara
campursari zaman modern dipelopori oleh Anto Sugiyarto atau yang lebih dikenal
dengan nama Manthous beserta saudara-saudaranya di awal tahun 1993 . Manthous
dilahirkan di desa Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta Ketika berusia
enam belas tahun ia hijrah ke Jakarta untuk ngamen, malang melintang di dunia
musik, ikut bergabung dengan Kroncong Bintang Jakarta. Tahun 1993 Matnhous
mendirikan grup musik campursari “Maju Lancar”. Manthous dengan kepekaan
musikalitasnya mengadakan inovasi besar-besaran terhadap campursari lama. Ia
mencoba menggabungkan alat-alat musik tradisional Jawa klasik, seperti kendang,
gong dan gender, dipadu dengan alat musik keroncong seperti ukulele, cak dan
cuk, seruling, bass betot, serta instrumen lainnya.
Manthous
juga mencoba bereksperimen dengan memasukkan instrumen pengganti bass betot dan
gitar klasik, yaitu dengan memasukkan bass dan gitar elektrik serta keyboard
untuk menggantikan seruling dan ukulele. Kehadiran keyboard ini semakin
menghidupkan musikalitas campursari. Selain itu Manthous juga memasukkan
seperangkat drum untuk menambah kesempurnaan musik campursari. Musik campursari
yang diciptakan, biasanya bernuansa segar dan penuh dengan keriangan.
Munculnya
album Campursari Gunung Kidul (CSGK) mengawali kesuksesan Manthous. Berkat
penemuan kreatifnya itu, Manthous mendapatkan penghargaan sebagai “Seniman
Inovatif” pada tahun 1996 dari PWI Cabang Yogyakarta. Manthous juga menyabet
beberapa penghargaan dalam ajang Panasonic Award maupun Ami Sharp Award.
Penghargaan terkahir diperolehnya pada tahun 2001 untuk kategori Artis
Tradisional Kontemporer terbaik serta Album Tradisional Kontemporer terlaris.
Sejak tahun 2000-an muncullah bentuk campursari yang merupakan campursari
gamelan dan keroncong, serta campuran keroncong dan dangdut dari Didi Kempot.
Kapasitas
Manthous sebagai seorang seniman tidak diragukan lagi. Manthous telah malang
melintang di belantika pemusikan Indonesia. Hasil lagu ciptannya juga sudah
sangat banyak, misalnya lagu Kangen yang sempat hits lewat alunan vokal
Evitamala, Gethuk yang dibawakan oleh Nur Afni Oktavia, atau lagu Mbah Dukun
yang dinyanyikan oleh Nomo Koeswoyo. Kesuksesan Manthous tersebut juga
mengorbitkan beberapa nama penyanyi atau pesinden yang telah ada, antara lain
Anik Sunyahni, Minul, Lilis Diana, hingga Yati Pesek, lewat lagu Nyidam Sari,
Tahu opo tempe, Rondho Kempling, loro bronto dan sebagainya yang masih
merupakan lagu ciptaan Manthous.
Sayangnya,
dikarenakan sedang mengalami sakit sampai dinyatakan terkena stroke, Manthous
sekarang tidak bisa lagi menciptakan mahakarya seni yang pernah digagasnya
sendiri ini. Walaupun demikian, alunan gending-gending campursari masih sering
terdengar di setiap pojok tempat, baik di rumah makan, bus-bus antar kota atau
propinsi, radio-radio lokal, dan di acara-acara hajatan.
1.2
Musik Campursari, antara Tradisi dan Inovasi
Musik
Campursari merupakan perpaduan antara sebuah tradisi dan inovasi, pernyataan
ini benar adanya menurut kami karena jika ditilik dari sudut pandang tradisi
maka jelas bahwa alat musik yang digunakan masih menggunakan alat musik
tradisional atau etnik seperti gamelan dan lain-lain kemudian lirik yang
dilantunkannya pun menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa dan dapat kita
lihat bahwa penyanyi pun terkadang masih menggunakan pakaian daerah.
Kemudian
dari sudut pandang inovasi dapat terlihat perpaduan penggunaan alat musik
tradisional tadi dengan alat musik modern seperti keyboard, gitar dan bass
elektrik, dan lain-lain. Lirik yang dilantunkan pun mengenai kehidupan
masyarakat sehari-hari ataupun lelucon jenaka yang sering kita temui. Jelas
bahwa musik ini tergolong musik aliran alternative karena musik ini memiliki
sebuah aliran yang khas, yaitu perpaduan antara tradisi dan inovasi.
1.3
Musik Campursari di Kalangan Masyarakat
Musik
campursari pernah tumbuh bagai cendawan di musim hujan, namun kini bagai di
telan bumi. Beberapa tahun silam musik campursari sempat menjadi fenomena di
belantika musik Indonesia, setelah mendapat sentuhan dari Manthous. Sementara
itu para pengelola grup campursari saat ini mengeluh karena setiap kali
pementasan selalu diganggu oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung
jawab sehingga menyebabkan masyarakat mulai enggan menanggap kesenian ini.
Adanya
penggabungan seni tradisi dan modern pada pertengahan tahun 1990-an merupakan
simbolisasi pertemuan barat dan timur dalam hal sistem tangga nadanya Lahirnya
musik campursari oleh Manthous memunculkan daya pesona, menjadi magnet bagi
pecinta dan pelaku musik untuk mengapresiasinya, serta mendorong tumbuhnya
grup-grup musik campursari tidak hanya di lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta.
Campursari mengenal empat kategori jenis musik yaitu pelog dan slendro yang
merupakan aransemen dalam musik karawitan, serta mayor minor dalam musik keroncong
atau pop. Aransemen seperti itu membuat campursari lebih fleksibel, bisa
mengaransemen musik tradisional dan modern sehingga musik campursari banyak
digemari masyarakat dari tingkatan masyarakat daerah sampai masyarakat kota.
Musik
campursari mengalami perkembangan yang cukup pesat terutama di daerah Jawa.
Sebagai contoh, perkembangan kesenian campursari di wilayah Jawa Timur ditandai
dengan sering ditayangkannya kesenian tersebut di televisi maupun media
elektronik lainnya, setiap orang yang memiliki hajat nikahan anaknya juga
banyak memanfaatkan seni hiburan gamelan plus dangdut ini. Jenis musik ini
diakui sangat erat sekali dengan telinga masyarakat Jawa Timur karena jenis
musiknya bisa dipadu antara lagu-lagu keroncong, langgam, pop, barat dan dangdut.
Seni
campursari menurut sejumlah tokoh seni di Jawa timur, merupakan perpaduan nada
pentatonis dan diatonis yang dipadukan dengan alat musik tradisional gamelan
dan seperangkat alat musik band. Musik campursari merupakan bentuk akulturasi
dari Keroncong dan musik gamelan Jawa. Menurut Didi Kempot, musik campursari
tidak hanya terkenal di Jawa namun juga telah dikenal di wilayah Sumatera dan
Kalimantan.
Kemunculan
campursari sempat memunculkan kontroversi di kalangan seniman, karena dianggap
menurunkan suatu tradisi yang terkandung di dalam gamelan sebagai musik istana.
Kendati muncul pro kontra terhadap kemurnian aliran musik ini, namun semua
pihak sepakat dan memahami bahwa campursari merevitalisasi musik-musik
tradisional di wilayah tanah Jawa. Selain itu muncul pula kontroversi ketika
adanya campursari dalam pergelaran wayang. Banyak dalang yang menentang adanya
musik campursari dalam wayang.
Banyak
musisi campursari mengatakan bahwa jenis musik ini sedang mengalami stagnasi.
Pada akhir dekade 90-an, Manthous yang merupakan maestro musik campursari
menjelaskan bahwa penggabungan unsur pentatonis dan diatonis dalam musik
campursari tidak asal campur. Musisi campursari dituntut untuk memiliki
kreativitas untuk mencari lagu yang benar-benar dapat dicampursarikan.
Penggarapan karya dan penyajian campursari yang asal-asalan dan mengabaikan
nilai adiluhung justru akan menjerumuskan musik campursari ke jurang degradasi
keadiluhungan seni tradisi
Ada
kalangan yang berpendapat bahwa campursari adalah suatu kreasi dan inovasi,
musik ini bersifat universal yang bisa menampilkan dan memadukan berbagai jenis
lagu. Pada perkembangannya musik campursari sudah tumbuh dan terus berkembang
dengan berbagai inovasinya. Perpaduan yang harmonis akan mendatangkan estetika keindahan,
keselarasan yang bermanfaat bagi manusia banyak.
Seperti
halnya manusia dalam bergaul, bekerja dan dalam kehidupannya itu perlu nuansa
keharmonisan antar sesama, perpaduan dan toleransi yang mana semua itu juga
akan mendatangkan suatu keindahan hidup yang bermanfaat bagi sesama.
- Penasehat ACSI (Asosiasi Campursari Indonesia) mengatakan bahwa kendala terbesar yang dihadapi pelaku musik campursari, sebagian besar datang dari dalam diri mereka sendiri : Masih belum berkembangnya jiwa enterpreneur.
- Etos kerja yang belum beradaptasi dengan watak industri hiburan.
- Kesadaran komunikasi untuk memenuhi kebutuhan publik dan promosi masih sangat terbatas.
Sebagian
besar kelompok campursari diciptakan untuk sarana komunikasi sosial untuk
menjaga kerapatan kultural dalam lingkungan sosial bukan untuk tujuan
komersial.
Menurut
Didi Kempot, berkibarnya musik campursari pada tahun 1990-an menjadi tonggak
sejarah kebangkitan musik lagu-lagu Jawa. Sekitar 15-20 tahun yang lalu, hampir
semua kecamatan khususnya DIY ada grup campursari. Bahkan jenis-jenis kesenian
lain juga terkena wabah campursari, seperti ketoprak campursari, jatilan
campursari, angguk campursari, lengger campursari dan lain-lain. Rencana untuk
mempatenkan campursari sebenarnya sudah ada, namun belum juga terealisir karena
adanya keterbatasan dana.
·
Beberapa pesinden hengkang dari dunia pewayangan dan beralih
profesi menjadi penyanyi campursari, hal itu disebabkan beberapa alasan:
Ada kebebasan berekspresi yang didapat dalam sajian musik campursari
Ada kebebasan berekspresi yang didapat dalam sajian musik campursari
·
Posisi tawar seorang penyanyi campursari ternyata secara
umum rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan ketika menjadi pesinden.
·
Menjadi penyanyi
campursari tidak harus ikut dalam permainan wayang atau klenengan semalam
suntuk, melainkan cukup satu atau dua jam dan sehari bisa berpindah tempat
sampai dua atau tiga lokasi.
·
Menjadi pesinden, busana atau kostum sangat terpaku dalam
bingkai konvensional, sedangkan menjadi penyanyi campursari bisa tampil dengan
mode trendy seperti selebritis.
Campursari
memang sedang mencari bentuk baku, campursari adalah musik hybrida hasil
perkawinan silang antara musik Barat dan dan musik tradisional Indonesia. Ada
baiknya kita memerhatikan Rumusan Ki Hajar Dewantara tentang kebudayaan :
§ Lahir, tumbuh,
berkembang, berbuah, sakit, tua, mundur dan akhirnya mati.
§ Kawin dan
berketurunan, kumpul tak bersatu, berasimilasi, manunggal melahirkan bentuk
baru.
§ Mengalami
seleksi, yang kuat akan hidup, yang lemah akan mati.
§ Menyesuaikan
dengan alam (kodrat) dan zaman (masyarakat).
Mengacu hal
tersebut, campursari masuk kategori nomor dua yaitu kawin dan berketurunan,
manunggal melahirkan bentuk baru. Sebuah musik yang mampu mengusung suatu
etnisitas, mampu diterima oleh masyarakat luas tanpa menghapus identitas dari
masyarakat pemilik musik itu sendiri.
Campursari bisa
diterima kalangan muda, namun harus pintar mencari celah untuk bisa diterima
oleh semua kalangan. Campursari ini masih dianggap sebagai musik kelas menengah
kw bawah, karena kelas menengah kebawahlah yang menjadi pendukung jenis
kesenian ini. . Memang bagaimanapun sebuah inovasi tidak dapat terlepas dari
pro dan kontra. Menurut Manthous, musik campursari ditemukan melalui perjalanan
panjang dan tahapan-tahapan untuk mematangkan jenis baru musik tersebut.
Meskipun
campursari merupakan gabungan unsur pentatonis dan diatonis, campursari
bukanlah langgam, bukan keroncong, bukan karawitan, bukan dangdut dan juga
bukan musik pop. Musik campursari adalah campursari, sekaligus fenomena yang
sedang berkembang seiring perkembangan pola pikir masyarakat dari kultur
agraris menuju pola pikir industri. Jika semua musisi di Indonesia mau untuk
menciptakan musik etnik sudah tentu setiap daerah akan punya musik asli.
Sejak tanggal 5 Desember 2007 oleh Bapak Agung
Laksono (Ketua DPR RI) bertempat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) telah
dideklarasikan Paguyuban Campursari Indonesia (Pancasindo) sebagai wadah
kumpulan campursari Indonesia, dengan tujuan untuk menanggulangi hal-hal lain
agar seni campursari ini jangan diklaim oleh negara lain (Malaysia).
1.4
Upaya Mempertahankan Eksistensi Musik Campursari
Menurut kami
musik Campursari ini masih dapar dipertahankan atau kembali dipopulerkan dengan
berbagai cara, antara lain :
J Membuat media
promosi yang tepat, antara lain dengan mengikutsertakan atau menampilkan musik
Campursari dalam berbagai acara baik yang sifatnya formal maupun informal dan
nasional maupun internasional, sehingga kalangan publik menjadi mengetahui dan
tertarik dengan musik ini. Contohnya pada penyambutan duta besar asing atau membuat
acara pameran kebudayaan Indonesia di negara-negara tetangga.
J Mendirikan
sebuah organisasi yang bersifat mendidik dan melestarikan, seperti salah satu
organisasi yang telah berdiri yaitu Asosiasi Campur Sari Indonesia (ACSI) namun
dengan berdirinya organisasi seniman ini belum cukup untuk melestarikannya. Ada
baikinya jika dibuat pula program pendidikan dalam program kerja organisasi
tersebut seperti melatih anak-anak jalanan atau pengamen jalanan menggunakan
alat musik dan memainkan musik Campursari.
J Melatih para
seniman Campursari untuk meneliti minat pasar. Seperti kita ketahui bahwa minat
pasar selalu mengalami perubahan sehingga dalam musik Campursari tersebut juga
harus membuat inovasi atau perubahan-perubahan yang dapat menarik minat para
pendengar. Contohnya seperti menciptakan liri-lirik lagu yang berisi cerminan
kehidupan masyarakat saat ini atau mengangkat tema yang sesuai dengan zamannya.
2.
ALAT MUSIK
Biasanya alat musik yang dipakai untuk
campursari ini menggabungkan sebagian dari gamelan Jawa dan sebagian alat musik
moderen. Biasanya perangkat gamelan
yang dipakai antara lain :
©
Slenthem
©
Peking
©
Kendhang
©
Gong
©
Bonang (tidak semua
bagian)
©
Suling
Itupun
bisa ditambah dan dikurangi sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan alat musik
moderen yang paling sering dipakai antara lain:
�
Organ tunggal
�
Gitar (kadang-kadang)
Biasanya
organ tunggal dipakai disegala sisi, karena iramanya dianggap kuat sehingga
tidak dibutuhkan banyak alat musik. Bahkan kadang dalam pementasan di
kampung-kampung, hanya dengan satu organ tunggal sudah cukup untuk menampilkan
campursari Jawa ini. Nah, jenis musik satu ini merupakan salah satu bentuk
popularisasi dari musik tradisional Jawa yang bersifat sekuler, karena lebih
mengutamakan unsur menghibur. Campursari ini bisa dijadikan bentuk pop atau
digabungkan dengan musik dangdut.
Bahkan
musik pengiring pengantin seperti kebo giro sekalipun telah dimodifikasi dengan organ tunggal.
3.
CAMPURSARI JANGER
Ada satu lagi varian campursari yang
subur di Banyuwangi, ujung timur pulau Jawa, yakni apa yang disebut sebagai
campursari janger. Pengaruh Bali sangat terasa pada permainan musiknya. Alat
pengiringnya biasanya terdiri atas organ tunggal, suling, bonang bali (di Bali
disebut reyong), kethuk, serta kendhang dan biasanya dimainkan dengan nada
Bali-Balian yang agak rancak meski konsepnya tetap dalam bentuk campursari. Ya,
campur-campur. Aliran ini sangat populer khususnya di Banyuwangi dan
sekitarnya. Lagu-lagunya dinyanyikan dalam
dialek Osing yang kental.
4.
KENDHANG KEMPUL
Kendhang kempul maksudnya adalah
kendang dan gong kecil. Ini juga salah satu jenis campursari yang populer di
Banyuwangi, bahkan sampai dikawasan tapal kuda Jawa Timur. Kendang dan kempul ini
digabungkan dengan electone alias organ tunggal. Namun kendang kempul dalam
perkembangannya makin mendekati genre dangdut. Penyanyi kendang kempul
Banyuwangi yang populer diwilayahnya antara lain Niken Arisandi, Sumiyati,
Adistya Mayasari, Yuli Astuti, Dian Ratih dan
sebagainya.
Campursari Janger maupun Kendang Kempul
Banyuwangi ini ternyata juga banyak digandrungi anak-anak muda, khususnya anak
muda Banyuwangi yang masih menghargai kesenian lokalnya. Saya pernah minta
lagu-lagu campursari janger dan kendang kempul dari salah satu mahasiswa saya
yang ternyata kolektor lagu-lagu Banyuwangian. Ternyata tak kalah enak dengan campursari ala Jowo.
Kesimpulan yang bisa ditarik disini
adalah campursari merupakan salah satu kesenian rakyat yang menggabungkan antara
unsur tradisional terbukti dengan adanya sebagian perangkat gamelan didalamnya,
dan sebagian musik moderen yang kadang menggabungkan sentuhan dangdut juga
didalamnya. Campursari sebenarnyapun merupakan penyesuaian atas makin
berkembangnya jaman dengan budaya populernya dan tinggal masyarakat sendiri
yang menyikapinya ditengah arus modernisasi yang sebenarnya semakin mengarah
pada Amerikanisasi saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar