Animasi Jam

Rabu, 27 Agustus 2014

MUSIK CAMPURSARI

MUSIK CAMPURSARI

1.         RIWAYAT MUSIK CAMPURSARI TRADISI DAN INOVASI

1.1      Munculnya Campursari

Istilah campursari di dunia musik nasional mengacu pada campuran beberapa genre musik kontemporer Indonesia. Istilah campursari dikenal pada awal tahun 1970-an ketika RRI Stasiun Surabaya memperkenalkan acara baru, yaitu lagu-lagu yang diiringi musik paduan alat musik berskala nada pentatonis dan diatonis. Campursari adalah salah satu bentuk kesenian di Jawa yang merupakan perkawinan antara musik modern dengan musik etnik. Campursari itu sendiri sebenarnya berangkat dari seni tradisi Jawa, dimana dipadukannya seni gending dengan berbagai alat musik, baik alat musik tradisional maupun modern, konvensional dan elektrik.

Tapi sesungguhnya, paduan antara musik tradisional Indonesia dengan musik Barat bukanlah sesuatu yang baru. Jauh sebelum campursari ada banyak musisi kelas dunia yang sudah melakukannya, antara lain Claude Achille Debussy dari Perancis, Bella Bartok komponis Hungaria, Lalu Collin Mc Phee komponis Amerika, Wheeler Backet. Dari Indonesia ada F.A Warsono, Guruh Soekarno Putra bersama grup Guruh Gipsy memperkenalkan paduan musik Bali dan musik Barat.

Campursari berasal dari dua kata yaitu campur dan sari. Campur berarti berbaurnya instrumen musik baik yang tradisional maupun modern. Sari berarti eksperimen yang menghasilkan jenis irama lain dari yang lain. Para seniman memadukan dua unsur musik yang berbeda yaitu instrumen musik etnik yaitu gamelan dan instrumen musik modern seperti gitar elektrik, bass, drum serta keyboard, sehingga dapat dikatakan bahwa campursari adalah musik hybrida hasil perkawinan silang antara musik barat dan tradisional. Kesenian ini memerlukan beberapa pemain musik, tak kurang dari hampir sepuluh orang untuk menghasilkan irama yang sangat merdu.

Munculnya musik campursari pada awalnya berangkat dari musik keroncong asli langgam, campursari tetap menggunakan dasar-dasar keroncong. Ada yang cenderung ke musik karawitan, ada yang cenderung ke keroncong. Campursari diolah sedemikian rupa sehingga menghasilkan jenis musik Jawa modern, lirik-lirik lagunya masih mengadopsi lirik gending Jawa tradisional walaupun tidak semua, karena sebagian besar dari senimannya berusaha menciptakan lagu campursari itu menyesuaikan dengan keadaan zaman yang sedang berlangsung.

Campursari awalnya dipopulerkan oleh Ki Nartosabdho melalui setiap pertunjukkan wayang kulit yang dimainkannya. Ki Nartosabdho nama aslinya adalah Sunarto. Ia lahir di Wedi, Klaten, Jawa Tengah, tanggal 25 Agustus 1925 dari keluarga kurang mampu. Ayahnya Partinojo seorang pembuat sarung keris. Sunarto kecil tidak dapat melanjutkan sekolah karena keterbatasan biaya. Beranjak remaja, Sunarto hijrah ke Jakarta untuk menopang ekonomi keluarganya dengan mencari uang melalui kemampuannya dalam bidang seni lukis. Ia juga turut memperkuat orkes keroncong “Sinar Purnama” sebagai pemain biola.

Pada tahun 1945, Sunarto berkenalan dengan Ki Sastrosabdho. Sunarto benar-benar ditempa kemampuannya dalam mengenali dan mendalami instrumen gendang. Lewat Ki Sastrosabdho pula, Sunarto mengenal dunia pewayangan. Antara Ki Sastrosabdho dan Sunarto adalah ibarat satu kesatuan sebagai bapak dan anak, oleh karena itu kemudian Ki Sastrosabdho menganugerahi nama belakangnya kepada murid kesayangannya ini menjadi Nartosabdho. Ki Nartosabdho merupakan pembaharu dunia pedalangan tahun 80-an, menggabungkan musik modern dengan musik gamelan sehingga menghasilkan harmoni dengan nuansa tradisi Jawa, namun hal tersebut memunculkan kontroversi.

Sementara campursari zaman modern dipelopori oleh Anto Sugiyarto atau yang lebih dikenal dengan nama Manthous beserta saudara-saudaranya di awal tahun 1993 . Manthous dilahirkan di desa Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta Ketika berusia enam belas tahun ia hijrah ke Jakarta untuk ngamen, malang melintang di dunia musik, ikut bergabung dengan Kroncong Bintang Jakarta. Tahun 1993 Matnhous mendirikan grup musik campursari “Maju Lancar”. Manthous dengan kepekaan musikalitasnya mengadakan inovasi besar-besaran terhadap campursari lama. Ia mencoba menggabungkan alat-alat musik tradisional Jawa klasik, seperti kendang, gong dan gender, dipadu dengan alat musik keroncong seperti ukulele, cak dan cuk, seruling, bass betot, serta instrumen lainnya.

Manthous juga mencoba bereksperimen dengan memasukkan instrumen pengganti bass betot dan gitar klasik, yaitu dengan memasukkan bass dan gitar elektrik serta keyboard untuk menggantikan seruling dan ukulele. Kehadiran keyboard ini semakin menghidupkan musikalitas campursari. Selain itu Manthous juga memasukkan seperangkat drum untuk menambah kesempurnaan musik campursari. Musik campursari yang diciptakan, biasanya bernuansa segar dan penuh dengan keriangan.

Munculnya album Campursari Gunung Kidul (CSGK) mengawali kesuksesan Manthous. Berkat penemuan kreatifnya itu, Manthous mendapatkan penghargaan sebagai “Seniman Inovatif” pada tahun 1996 dari PWI Cabang Yogyakarta. Manthous juga menyabet beberapa penghargaan dalam ajang Panasonic Award maupun Ami Sharp Award. Penghargaan terkahir diperolehnya pada tahun 2001 untuk kategori Artis Tradisional Kontemporer terbaik serta Album Tradisional Kontemporer terlaris. Sejak tahun 2000-an muncullah bentuk campursari yang merupakan campursari gamelan dan keroncong, serta campuran keroncong dan dangdut dari Didi Kempot.

Kapasitas Manthous sebagai seorang seniman tidak diragukan lagi. Manthous telah malang melintang di belantika pemusikan Indonesia. Hasil lagu ciptannya juga sudah sangat banyak, misalnya lagu Kangen yang sempat hits lewat alunan vokal Evitamala, Gethuk yang dibawakan oleh Nur Afni Oktavia, atau lagu Mbah Dukun yang dinyanyikan oleh Nomo Koeswoyo. Kesuksesan Manthous tersebut juga mengorbitkan beberapa nama penyanyi atau pesinden yang telah ada, antara lain Anik Sunyahni, Minul, Lilis Diana, hingga Yati Pesek, lewat lagu Nyidam Sari, Tahu opo tempe, Rondho Kempling, loro bronto dan sebagainya yang masih merupakan lagu ciptaan Manthous.

Sayangnya, dikarenakan sedang mengalami sakit sampai dinyatakan terkena stroke, Manthous sekarang tidak bisa lagi menciptakan mahakarya seni yang pernah digagasnya sendiri ini. Walaupun demikian, alunan gending-gending campursari masih sering terdengar di setiap pojok tempat, baik di rumah makan, bus-bus antar kota atau propinsi, radio-radio lokal, dan di acara-acara hajatan.

1.2      Musik Campursari, antara Tradisi dan Inovasi

Musik Campursari merupakan perpaduan antara sebuah tradisi dan inovasi, pernyataan ini benar adanya menurut kami karena jika ditilik dari sudut pandang tradisi maka jelas bahwa alat musik yang digunakan masih menggunakan alat musik tradisional atau etnik seperti gamelan dan lain-lain kemudian lirik yang dilantunkannya pun menggunakan bahasa daerah yaitu bahasa Jawa dan dapat kita lihat bahwa penyanyi pun terkadang masih menggunakan pakaian daerah. 

Kemudian dari sudut pandang inovasi dapat terlihat perpaduan penggunaan alat musik tradisional tadi dengan alat musik modern seperti keyboard, gitar dan bass elektrik, dan lain-lain. Lirik yang dilantunkan pun mengenai kehidupan masyarakat sehari-hari ataupun lelucon jenaka yang sering kita temui. Jelas bahwa musik ini tergolong musik aliran alternative karena musik ini memiliki sebuah aliran yang khas, yaitu perpaduan antara tradisi dan inovasi.

1.3      Musik Campursari di Kalangan Masyarakat

Musik campursari pernah tumbuh bagai cendawan di musim hujan, namun kini bagai di telan bumi. Beberapa tahun silam musik campursari sempat menjadi fenomena di belantika musik Indonesia, setelah mendapat sentuhan dari Manthous. Sementara itu para pengelola grup campursari saat ini mengeluh karena setiap kali pementasan selalu diganggu oleh tangan-tangan jahil yang tidak bertanggung jawab sehingga menyebabkan masyarakat mulai enggan menanggap kesenian ini.

Adanya penggabungan seni tradisi dan modern pada pertengahan tahun 1990-an merupakan simbolisasi pertemuan barat dan timur dalam hal sistem tangga nadanya Lahirnya musik campursari oleh Manthous memunculkan daya pesona, menjadi magnet bagi pecinta dan pelaku musik untuk mengapresiasinya, serta mendorong tumbuhnya grup-grup musik campursari tidak hanya di lingkup Daerah Istimewa Yogyakarta. Campursari mengenal empat kategori jenis musik yaitu pelog dan slendro yang merupakan aransemen dalam musik karawitan, serta mayor minor dalam musik keroncong atau pop. Aransemen seperti itu membuat campursari lebih fleksibel, bisa mengaransemen musik tradisional dan modern sehingga musik campursari banyak digemari masyarakat dari tingkatan masyarakat daerah sampai masyarakat kota.

Musik campursari mengalami perkembangan yang cukup pesat terutama di daerah Jawa. Sebagai contoh, perkembangan kesenian campursari di wilayah Jawa Timur ditandai dengan sering ditayangkannya kesenian tersebut di televisi maupun media elektronik lainnya, setiap orang yang memiliki hajat nikahan anaknya juga banyak memanfaatkan seni hiburan gamelan plus dangdut ini. Jenis musik ini diakui sangat erat sekali dengan telinga masyarakat Jawa Timur karena jenis musiknya bisa dipadu antara lagu-lagu keroncong, langgam, pop, barat dan dangdut.

Seni campursari menurut sejumlah tokoh seni di Jawa timur, merupakan perpaduan nada pentatonis dan diatonis yang dipadukan dengan alat musik tradisional gamelan dan seperangkat alat musik band. Musik campursari merupakan bentuk akulturasi dari Keroncong dan musik gamelan Jawa. Menurut Didi Kempot, musik campursari tidak hanya terkenal di Jawa namun juga telah dikenal di wilayah Sumatera dan Kalimantan.

Kemunculan campursari sempat memunculkan kontroversi di kalangan seniman, karena dianggap menurunkan suatu tradisi yang terkandung di dalam gamelan sebagai musik istana. Kendati muncul pro kontra terhadap kemurnian aliran musik ini, namun semua pihak sepakat dan memahami bahwa campursari merevitalisasi musik-musik tradisional di wilayah tanah Jawa. Selain itu muncul pula kontroversi ketika adanya campursari dalam pergelaran wayang. Banyak dalang yang menentang adanya musik campursari dalam wayang.

Banyak musisi campursari mengatakan bahwa jenis musik ini sedang mengalami stagnasi. Pada akhir dekade 90-an, Manthous yang merupakan maestro musik campursari menjelaskan bahwa penggabungan unsur pentatonis dan diatonis dalam musik campursari tidak asal campur. Musisi campursari dituntut untuk memiliki kreativitas untuk mencari lagu yang benar-benar dapat dicampursarikan. Penggarapan karya dan penyajian campursari yang asal-asalan dan mengabaikan nilai adiluhung justru akan menjerumuskan musik campursari ke jurang degradasi keadiluhungan seni tradisi

Ada kalangan yang berpendapat bahwa campursari adalah suatu kreasi dan inovasi, musik ini bersifat universal yang bisa menampilkan dan memadukan berbagai jenis lagu. Pada perkembangannya musik campursari sudah tumbuh dan terus berkembang dengan berbagai inovasinya. Perpaduan yang harmonis akan mendatangkan estetika keindahan, keselarasan yang bermanfaat bagi manusia banyak. 

Seperti halnya manusia dalam bergaul, bekerja dan dalam kehidupannya itu perlu nuansa keharmonisan antar sesama, perpaduan dan toleransi yang mana semua itu juga akan mendatangkan suatu keindahan hidup yang bermanfaat bagi sesama.

  • Penasehat ACSI (Asosiasi Campursari Indonesia) mengatakan bahwa kendala terbesar yang dihadapi pelaku musik campursari, sebagian besar datang dari dalam diri mereka sendiri : Masih belum berkembangnya jiwa enterpreneur.

  • Etos kerja yang belum beradaptasi dengan watak industri hiburan.

  • Kesadaran komunikasi untuk memenuhi kebutuhan publik dan promosi masih sangat terbatas.
Sebagian besar kelompok campursari diciptakan untuk sarana komunikasi sosial untuk menjaga kerapatan kultural dalam lingkungan sosial bukan untuk tujuan komersial.

Menurut Didi Kempot, berkibarnya musik campursari pada tahun 1990-an menjadi tonggak sejarah kebangkitan musik lagu-lagu Jawa. Sekitar 15-20 tahun yang lalu, hampir semua kecamatan khususnya DIY ada grup campursari. Bahkan jenis-jenis kesenian lain juga terkena wabah campursari, seperti ketoprak campursari, jatilan campursari, angguk campursari, lengger campursari dan lain-lain. Rencana untuk mempatenkan campursari sebenarnya sudah ada, namun belum juga terealisir karena adanya keterbatasan dana.

·         Beberapa pesinden hengkang dari dunia pewayangan dan beralih profesi menjadi penyanyi campursari, hal itu disebabkan beberapa alasan:
Ada kebebasan berekspresi yang didapat dalam sajian musik campursari
·         Posisi tawar seorang penyanyi campursari ternyata secara umum rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan ketika menjadi pesinden.
·          Menjadi penyanyi campursari tidak harus ikut dalam permainan wayang atau klenengan semalam suntuk, melainkan cukup satu atau dua jam dan sehari bisa berpindah tempat sampai dua atau tiga lokasi.
·         Menjadi pesinden, busana atau kostum sangat terpaku dalam bingkai konvensional, sedangkan menjadi penyanyi campursari bisa tampil dengan mode trendy seperti selebritis.

Campursari memang sedang mencari bentuk baku, campursari adalah musik hybrida hasil perkawinan silang antara musik Barat dan dan musik tradisional Indonesia. Ada baiknya kita memerhatikan Rumusan Ki Hajar Dewantara tentang kebudayaan :
§  Lahir, tumbuh, berkembang, berbuah, sakit, tua, mundur dan akhirnya mati.
§  Kawin dan berketurunan, kumpul tak bersatu, berasimilasi, manunggal melahirkan bentuk baru.
§  Mengalami seleksi, yang kuat akan hidup, yang lemah akan mati.
§  Menyesuaikan dengan alam (kodrat) dan zaman (masyarakat).

Mengacu hal tersebut, campursari masuk kategori nomor dua yaitu kawin dan berketurunan, manunggal melahirkan bentuk baru. Sebuah musik yang mampu mengusung suatu etnisitas, mampu diterima oleh masyarakat luas tanpa menghapus identitas dari masyarakat pemilik musik itu sendiri.

Campursari bisa diterima kalangan muda, namun harus pintar mencari celah untuk bisa diterima oleh semua kalangan. Campursari ini masih dianggap sebagai musik kelas menengah kw bawah, karena kelas menengah kebawahlah yang menjadi pendukung jenis kesenian ini. . Memang bagaimanapun sebuah inovasi tidak dapat terlepas dari pro dan kontra. Menurut Manthous, musik campursari ditemukan melalui perjalanan panjang dan tahapan-tahapan untuk mematangkan jenis baru musik tersebut.

Meskipun campursari merupakan gabungan unsur pentatonis dan diatonis, campursari bukanlah langgam, bukan keroncong, bukan karawitan, bukan dangdut dan juga bukan musik pop. Musik campursari adalah campursari, sekaligus fenomena yang sedang berkembang seiring perkembangan pola pikir masyarakat dari kultur agraris menuju pola pikir industri. Jika semua musisi di Indonesia mau untuk menciptakan musik etnik sudah tentu setiap daerah akan punya musik asli.

 Sejak tanggal 5 Desember 2007 oleh Bapak Agung Laksono (Ketua DPR RI) bertempat di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) telah dideklarasikan Paguyuban Campursari Indonesia (Pancasindo) sebagai wadah kumpulan campursari Indonesia, dengan tujuan untuk menanggulangi hal-hal lain agar seni campursari ini jangan diklaim oleh negara lain (Malaysia).

1.4      Upaya Mempertahankan Eksistensi Musik Campursari

Menurut kami musik Campursari ini masih dapar dipertahankan atau kembali dipopulerkan dengan berbagai cara, antara lain :

J  Membuat media promosi yang tepat, antara lain dengan mengikutsertakan atau menampilkan musik Campursari dalam berbagai acara baik yang sifatnya formal maupun informal dan nasional maupun internasional, sehingga kalangan publik menjadi mengetahui dan tertarik dengan musik ini. Contohnya pada penyambutan duta besar asing atau membuat acara pameran kebudayaan Indonesia di negara-negara tetangga.

J  Mendirikan sebuah organisasi yang bersifat mendidik dan melestarikan, seperti salah satu organisasi yang telah berdiri yaitu Asosiasi Campur Sari Indonesia (ACSI) namun dengan berdirinya organisasi seniman ini belum cukup untuk melestarikannya. Ada baikinya jika dibuat pula program pendidikan dalam program kerja organisasi tersebut seperti melatih anak-anak jalanan atau pengamen jalanan menggunakan alat musik dan memainkan musik Campursari.

J  Melatih para seniman Campursari untuk meneliti minat pasar. Seperti kita ketahui bahwa minat pasar selalu mengalami perubahan sehingga dalam musik Campursari tersebut juga harus membuat inovasi atau perubahan-perubahan yang dapat menarik minat para pendengar. Contohnya seperti menciptakan liri-lirik lagu yang berisi cerminan kehidupan masyarakat saat ini atau mengangkat tema yang sesuai dengan zamannya.

2.         ALAT MUSIK

Biasanya alat musik yang dipakai untuk campursari ini menggabungkan sebagian dari gamelan Jawa dan sebagian alat musik moderen. Biasanya perangkat gamelan yang dipakai antara lain :

©      Slenthem
©      Peking
©      Kendhang
©      Gong
©      Bonang (tidak semua bagian)
©      Suling

Itupun bisa ditambah dan dikurangi sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan alat musik moderen yang paling sering dipakai antara lain:
   Organ tunggal
   Gitar (kadang-kadang)

Biasanya organ tunggal dipakai disegala sisi, karena iramanya dianggap kuat sehingga tidak dibutuhkan banyak alat musik. Bahkan kadang dalam pementasan di kampung-kampung, hanya dengan satu organ tunggal sudah cukup untuk menampilkan campursari Jawa ini. Nah, jenis musik satu ini merupakan salah satu bentuk popularisasi dari musik tradisional Jawa yang bersifat sekuler, karena lebih mengutamakan unsur menghibur. Campursari ini bisa dijadikan bentuk pop atau digabungkan dengan musik dangdut.

Bahkan musik pengiring pengantin seperti kebo giro sekalipun telah dimodifikasi dengan organ tunggal.

3.         CAMPURSARI JANGER

Ada satu lagi varian campursari yang subur di Banyuwangi, ujung timur pulau Jawa, yakni apa yang disebut sebagai campursari janger. Pengaruh Bali sangat terasa pada permainan musiknya. Alat pengiringnya biasanya terdiri atas organ tunggal, suling, bonang bali (di Bali disebut reyong), kethuk, serta kendhang dan biasanya dimainkan dengan nada Bali-Balian yang agak rancak meski konsepnya tetap dalam bentuk campursari. Ya, campur-campur. Aliran ini sangat populer khususnya di Banyuwangi dan sekitarnya. Lagu-lagunya dinyanyikan dalam dialek Osing yang kental.    


4.         KENDHANG KEMPUL

Kendhang kempul maksudnya adalah kendang dan gong kecil. Ini juga salah satu jenis campursari yang populer di Banyuwangi, bahkan sampai dikawasan tapal kuda Jawa Timur. Kendang dan kempul ini digabungkan dengan electone alias organ tunggal. Namun kendang kempul dalam perkembangannya makin mendekati genre dangdut. Penyanyi kendang kempul Banyuwangi yang populer diwilayahnya antara lain Niken Arisandi, Sumiyati, Adistya Mayasari, Yuli Astuti, Dian Ratih dan sebagainya.

Campursari Janger maupun Kendang Kempul Banyuwangi ini ternyata juga banyak digandrungi anak-anak muda, khususnya anak muda Banyuwangi yang masih menghargai kesenian lokalnya. Saya pernah minta lagu-lagu campursari janger dan kendang kempul dari salah satu mahasiswa saya yang ternyata kolektor lagu-lagu Banyuwangian. Ternyata tak kalah enak dengan campursari ala Jowo.

Kesimpulan yang bisa ditarik disini adalah campursari merupakan salah satu kesenian rakyat yang menggabungkan antara unsur tradisional terbukti dengan adanya sebagian perangkat gamelan didalamnya, dan sebagian musik moderen yang kadang menggabungkan sentuhan dangdut juga didalamnya. Campursari sebenarnyapun merupakan penyesuaian atas makin berkembangnya jaman dengan budaya populernya dan tinggal masyarakat sendiri yang menyikapinya ditengah arus modernisasi yang sebenarnya semakin mengarah pada Amerikanisasi saat ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts